Rabu, 27 Juni 2007

Trotoar, hak pejalan kaki yang terabaikan

Trotoar, hak pejalan kaki yang terabaikan
Trotoar menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai jalur khusus pejalan kaki di sisi jalan raya. Posisi trotoar terletak di sisi kanan dan kiri jalan raya dan dibangun lebih tinggi dari permukaan jalan raya untuk lalu lintas kendaraan/jalan aspal untuk kendaraan. Bagaimana kondisi trotoar di Kota Semarang ?
Kondisi trotoar di Kota Semarang secara umum sangat memprihatinkan. Meskipun kata orang, trotoar adalah hak bagi pejalan kaki, namun rasanya hak tersebut tidak mudah untuk direalisasikan. Hal ini dapat dipandang dari dua faktor, pertama faktor beralih fungsinya trotoar dan kedua, adalah faktor kondisi fisik trotoar yang banyak mengalami kerusakan. Untuk dalam Kota Semarang, hanya sebagian jalan-jalan utama saja yang trotoarnya (lumayan) berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Seperti di jalan Pahlawan, sebagian jalan Pemuda, sebagian jalan Pandanaran dari Simpang Lima sampai dengan POM Bensin Mugas, dan Jalan Sugiyopranoto. Meskipun masih ada satu dua pedagang kaki lima akan tetapi tidak sampai menghabiskan badan trotoar, sehingga masih bisa dilewati oleh pejalan kaki tanpa harus turun ke jalan beraspal. Akan tetapi dilihat dari kondisi fisik trotoarnya, banyak kerusakan disana-sini, akibat hilang atau lepasnya paving sehingga permukaan trotoar menjadi berlubang, yang membuat tidak nyaman bagi para pejalan kaki.
Sedangkan kondisi trotoar yang lebih menyedihkan, sebagai contoh dapat dilihat di jalan Indrapasta, jalan Dr. Cipto, jalan Tentara Pelajar, jalan Mataram dan jalan Thamrin. Trotoar-trotoar tersebut yang semula ditujukan sebagai jalur aman bagi pejalan kaki, kemudian beralihfungsi menjadi lahan bisnis bagi beberapa orang. Di atas trotoar tersebut banyak sekali orang-orang berjualan atau pedagang kaki lima yang membuka dasaran jualannya, yang makin hari trendnya justru makin tidak berkurang. Kalau diperhatikan ada berbagai usaha disana, mulai dari usaha tambal ban, warung makanan, bekleding, penjual rokok (rombong rokok), pedagang buah, penjual barang bekas dan masih banyak lagi.
Sekali-kali cobalah anda, berjalan-jalan di jalan Thamrin, mulai dari ujung utara kearah selatan, trotoar dikedua sisi jalan Thamrin penuh pedagang kaki lima, mulai dari deretan warung makanan, bekleding, penjual rokok, lapak koran dan majalah, bahkan ada dealer sepeda motor yang sengaja memajang sepeda motor jualannya sampai memenuhi badan trotoar. Beralih di jalan Tentara Pelajar, mulai dari Pasar Kambing, bukankah kambing-kambing tersebut dijual di tempat yang seharusnya trotoar, selain menggangu pejalan kaki juga menimbulkan bau yang tidak sedap serta merusak pemadangan, selanjutnya ada tukang tambal ban, warung makanan, rombong rokok, lalu didekat Pasar Mrican ada toko bahan bangunan yang meletakkan tumpukan batu bata juga diatas trotoar, para pedagang buah yang berjajar di atas trotoar sepanjang Pasar Mrican meskipun berulang kali ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja tetap membandel dan tidak ada jeranya. Kalau hal ini tidak segera dicarikan solusinya, pejalan kaki mesti berjalan dimana? Ya, terpaksa berkali-kali mesti turun di jalan raya, dengan resiko tertabrak atau terserempet kendaraan bermotor.
Kalaupun anda misalnya tetap memaksakan berjalan melewati pedagang kaki lima yang sedang membuka tendanya/dasarannya di trotoar, pastilah anda akan dipelototi dan diomeli. Meskipun trotoar tersebut merupakan hak bagi pejalan kaki. Mereka bukannya tidak tahu, akan tetapi mereka sebenarnya sadar bahwa mereka telah melanggar larangan berjualan di atas trotoar. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, ada trotoar yang beralihfungsi menjadi lahan parkir, terutama di kawasan pertokoan. Kalau begitu bukankah ada hak dari pejalan kaki yang terabaikan ? Bukankah pejalan kaki pun berhak atas fasilitas jalan yang aman dan nyaman untuk dilewati, tanpa khawatir tertabrak oleh kendaraan ataupun diomeli oleh orang lain. Trotoar dibuat bukan hanya sebagai pajangan jalan biar tampak indah, akan tetapi memang ditujukan bagi kenyamanan pejalan kaki.
Kalau pejalan kaki merasa terabaikan haknya, lalu salah siapa ? Bukankah para pedagang kaki lima itu hanya mencari nafkah. Memang selama ini, pedagang kaki lima senantiasa distempel negatif, sebagai biang kesemrawutan dan kekumuhan kota. Meskipun jika dipandang dari sisi ekonomi mereka semestinya perlu diacungi dua jempol, karena di masa yang serba susah ini, susahnya lapangan pekerjaan, mereka justru berani membuka usaha sendiri. Apa kemudian mereka didiamkan saja ? Tentu tidak. Mereka memang perlu dilindungi, namun tetap harus ditertibkan dan ditata kembali ke tempat yang memang sesuai dengan peruntukannya. Trotoar mesti dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya. Dalam hal ini menjadi tugas bagi Pemerintah Kota Semarang melalui dinas terkait.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menghakimi pedagang kaki lima ataupun aparat Pemerintah Kota yang seakan-akan tidak mampu menertibkan para pedagang kaki lima. Penulis hanya merasa sedih atas kondisi trotoar yang memprihatinkan tersebut. Walaupun memang masih banyak masalah lain yang lebih besar, yang perlu penyelesaian secepatnya dan dana yang tidak sedikit. Lha, kalau masalah yang (katanya) kecil ini diabaikan, lama-lama akan menjadi masalah besar dan makin susah untuk ditertibkan.
Bahkan ada beberapa ruas jalan raya yang tidak ada trotoarnya. Sisi-sisi jalan raya hanya tanah yang kalau hujan becek dan banyak genangan air. Licin. Padahal lalu lintas kendaraannya pada jam-jam kerja sangat padat dan banyak pejalan kaki. Lantas pejalan kaki mau berjalan dimana ? Mau gak mau, pejalan kaki akan mengambil jatah jalan raya. Lantas, kalau sampai tertabrak kendaraan, siapa yang salah ? Penabrak menyalahkan si pejalan kaki yang tidak berjalan di trotoar. Si pejalan kaki (sambil menahan sakit) menunjuk bahwa tidak ada fasilitas trotoar untuk berjalan kaki dengan aman dan nyaman.
Sebenarnya keberadaan pedagang kaki lima di trotoar, apabila dikelola dengan baik dan profesional, dapat menjadi daya tarik pariwisata. Dalam hal ini Pemerintah Kota Semarang dapat mencontoh seperti trotoar jalan Mangkubumi atau yang terkenal dengan nama jalan Malioboro di Yogyakarta. Siapa yang tidak kenal dengan jalan Malioboro. Pedagang kaki lima di jalan Malioboro, selain dapat menyerap banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, dapat juga memberi kontribusi yang tidak sedikit terhadap Pendapatan Asli Daerah. Bahkan dari trotoar tersebut telah lahir banyak sastrawan, penyair dan musisi terkenal. Kalau Yogyakarta saja bisa, kenapa Semarang tidak ?
Warga kota Semarang pantas tersenyum bangga, karena sebentar lagi Kota Semarang akan memiliki kawasan city walk, yang rencananya akan dibangun di kawasan Kota Lama. Katanya city walk tersebut merupakan kawasan yang memanjakan para pejalan kaki. Menurut rencana pula di kawasan city walk tersebut akan dibangun kios-kios semi permanen, yang menjajakan oleh-oleh khas Semarang, makanan khas lokal, souvenir dan juga barang-barang kerajinan dan seni. Kota Lama dengan bangunan kunonya yang khas arsitektur peninggalan zaman VOC akan meningkatkan daya tarik sebagai tujuan wisata bagi wisatawan baik lokal maupun asing dengan dibangunnya city walk di kawasan Kota Lama. Apalagi dengan adanya bangunan-bangunan kuno dengan arsitekturnya yang khas peninggalan zaman VOC. Semoga harapan tersebut segera menjadi kenyataan, karena setidaknya dengan dibangunnya kawasan city walk tersebut, pejalan kaki dapat menikmati perjalanan dengan nyaman dan aman.
Demi pemenuhan rasa aman dan nyaman bagi para pejalan kaki, terhadap trotoar-trotoar yang bermasalah, Pemerintah Kota Semarang melalui Dinas terkait, harus segera mengambil tindakan, sebagai berikut : 1). Perbaikan trotoar yang pavingnya telah rusak dan lepas, melakukan pembangunan trotoar pada ruas jalan yang belum ada trotoarrnya, pengecatan serta memasang tempat sampah dan mengganti tempat sampah yang telah rusak. 2). Langkah aktif pemerintah kota untuk terus menerus melakukan penertiban dan penataan pedagang kaki lima dari trotoar. Dalam hal ini Pemerintah Kota harus konsisten, semua trotoar yang bermasalah harus ditertibkan tanpa pandang bulu. Tentunya dalam penertiban pedagang kaki lima harus ditangani secara manusiawi, tidak hanya dioprak-oprak namun tidak ada solusi yang jelas akan masa depan mereka.
Setelah ditertibkan, trotoar-trotoar tersebut perlu pengawasan, sehingga tidak ada lagi pedagang kaki lima yang mencoba berjualan ditempat yang sama, atau pindah ke trotoar-trotoar yang lain. Selain itu, diperlukan pula himbauan secara terus menerus baik melalui surat kabar, siaran radio maupun siaran televisi lokal kepada warga masyarakat, bahwa melakukan aktifitas usaha di atas trotoar adalah mengganggu hak pejalan kaki serta merusak keindahan kota.
Namun demikian, tanpa kepedulian, kesadaran dan peran aktif dari masyarakat, program Pemerintah Kota Semarang tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Dituntut kepedulian dan kesadaran dari warga kota Semarang untuk selalu saling mengingatkan tentang pentingnya menjaga ketertiban, keindahan dan kebersihan kotanya.
Bahwa fungsi dasar dari trotoar adalah untuk kenyamanan para pejalan kaki. Trotoar bukan tempat berjualan dan bukan pula tempat parkir kendaraan. Mari bersama-sama kita jaga kebersihan, ketertiban dan keindahan kota kita.