Rabu, 30 Januari 2008

Sabar Menghadapi Ujian

Sabar adalah kata yang mudah diucapkan, namun tidak mudah dalam pelaksanaannya. Sabar tidak hanya terhadap musibah atau sesuatu yang tidak mengenakkan yang menimpa pada diri kita atau keluarga kita, namun juga sabar terhadap kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT. Musibah ataupun kenikmatan merupakan ujian Allah SWT terhadap hambanya. Ketika seorang muslim sedang diuji dengan musibah, maka sabarnya adalah makin mendekatkan diri pada Allah, melakukan instropeksi diri, ikhlas dengan musibah tersebut, melakukan upaya perbaikan diri serta berprasangka baik terhadap takdir Allah SWT. Tidak sepantasnya manusia berprasangka buruk pada Allah SWT. Dengan sabar, maka musibah yang diterima akan menjadi amal baik disisi Allah SWT.

Sedangkan sabar ketika mendapatkan kenikmatan dari Allah SWT adalah makin sadar akan kebesaran Allah SWT sehingga makin tambah kuat imannya, makin tambah dekat dengan Allah SWT, makin tekun ibadah, makin banyak infaq dan shodaqahnya dan lain-lain.

Ketika manusia diuji dengan musibah, biasanya sanggup bertahan dengan kesabarannya, makin bertambah kuat imannya. Meskipun tidak sedikit pula yang makin jauh imannya dari Allah SWT. Namun, ketika manusia sedang diuji dengan kenikmatan, banyak yang jatuh ke dalam bisikan setan. Ketika manusia diberi kesuksesan atau keberhasilan dalam usaha, tidak sedikit yang merasa bahwa keberhasilan tersebut karena semata-mata usahanya sendiri, karena kepandaiannya dalam berusaha, karena kecerdasan otaknya dan lain-lain. Mereka mengabaikan peran Allah SWT. Mereka menjadi sombong dan takabur, serta kurang syukurnya kepada Allah SWT.

Seorang muslim senantiasa bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan maupun musibah, karena nikmat dan musibah merupakan ujian Allah SWT bagi manusia, agar selalu sabar sehingga makin kuat imannya dan makin banyak amalnya.

Mintalah pertolongan Allah SWT dengan sabar dan sholat. Begitu firman Allah SWT. Baik dalam keadaan duka maupun bahagia.

masepe
Semarang, 30 Januari 2008

Senin, 28 Januari 2008

Kami Punya Rumah Sendiri

Alhamdulillaahi robbil ‘alamiin. Segala Puji bagi Allah penguasa semesta alam. Tanggal 27 Januari 2008 kemarin, resmi saya dan keluarga menempati rumah sendiri. Peristiwa tersebut tidak akan kami lupakan. Apalagi peristiwa itu berbarengan dengan peristiwa besar bangsa dan rakyat Indonesia yakni mangkatnya mantan Presiden Republik Indonesia “Sang Jenderal Besar Suharto”. Sehingga berita di televise tentang mangkatnya Alm. Bapak Suharto tersebut, tidak bisa kami ikuti, karena kesibukan kami, “boyongan” kerumah sendiri.

Rumah tersebut kami beli dengan cara KPR di Bank, dengan jangka waktu selama 10 tahun. Maklum lah saya hanyalah PNS, kalau tidak melalui KPR tentu susah mewujudkan impian memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah di perumahan dengan tipe 36 dengan luas tanah 90 m2. Ada sisa tanah dibelakang seluas kurang lebih 24 m2, yang akan kami bangun satu kamar tidur dan dapur serta sedikit ruang makan yang nantinya jadi satu dengan ruang keluarga, namun belum selesai pengerjaannya, karena keterbatasan dana. Rencana akan kami selesaikan bertahap tergantung dengan ketersediaan dana. Yang penting tanah dibelakang sudah tembok, sudah ditutup atap, asal tidak kehujanan dan kepanasan serta aman dari orang jahat. Selain itu juga belum ada pagarnya di depan rumah. Tapi tidak apa-apa, karena kami menempati rumah sendiri. Itu sudah cukup.

Sudah lama kami memimpikan rumah sendiri. Sebelumnya kami masih ngontrak rumah. Sejak bulan Juni 2003, setelah saya menikah, sampai dengan Januari 2008.

Beberapa tahun yang lalu, kami berpikir apakah bisa kami memiliki sebuah rumah, mengingat saya hanyalah seorang PNS. Sedangkan harga rumah sangat mahal untuk ukuran penghasilan saya. Setiap saat kami berdoa kepada Allah, agar diberikan jalan dan dimudahkan untuk dapat memiliki rumah. Alhamdulillah, Allah SWT menjawab doa kami. Ada perbaikan penghasilan, istilah kerennya ”remunerasi” di dalam Departemen Keuangan, sehingga penghasilan yang saya terima tiap bulannya pun meningkat. Saya mendapatkan rapelan selama beberapa bulan, dan itu cukup untuk uang muka KPR rumah. Alhamdulillah proses KPR di Bank juga mudah, tidak berbelit-belit. Dua mingguan proses KPR selesai. Itu semua berkat kemudahan dari Allah SWT.

Apapun keadaan rumah kami saat ini, kami sangat bahagia. Masih banyak orang-orang yang belum memiliki rumah sendiri. Tidak kami hiraukan rasa capek selama seharian angkut barang-barang rumah tangga, serta beres-beres barang. Tidak terasa rupanya banyak juga barang-barang yang selama ini kami punyai. Terutama barang mainan anakku, tidak kurang dari empat karung. Tiga kali angkut dengan menggunakan mobil truk bak kecil. Beruntung pindahan kami tidak begitu jauh, kira-kira jaraknya 250 m, masih dalam satu pengembang perumahan.

Masih banyak yang harus kami selesaikan. Dan masih banyak dana yang akan kami butuhkan. Ya Allah berikan lah petunjuk dan jalan kemudahan bagi hamba-Mu.... Dan jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang senantiasa bersyukur atas segala karunia dan nikmat yang telah Engkau limpahkan kepada kami...... Amiiiiin


masepe

Semarang, 29 Januari 2008.

Selamat Jalan Bapak Mantan Presiden...

Innaalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun

Setelah sekian lama beliau tak berdaya, terbaring sakit dan dalam perawatan super intensif di RSPP Jakarta, dan segala daya upaya telah dilakukan oleh Tim Dokter Kepresidenan namun kuasa Allah SWT tidak ada yang dapat menghalangi. Setiap yang hidup pasti akan mati. Dan hanya Allah yang tahu kapan terjadinya. Begitu ketentuan dari Allah SWT. Manusia hanya menjalani takdir yang telah ditetapkan oleh yang maha Pencipta. Begitu juga dengan Bapak Mantan Presiden kita “ Suharto”, yang pada hari minggu tanggal 27 Januari 2008 lalu, telah tutup usia. Sedangkan kita sudah pasti akan menyusul, entah kapan kita tidak tahu. Kata pak dhe saya, kita semua ini adalah “camat” yaitu calon mati, maka persiapkanlah amal-amal baik sebanyak-banyaknya, sebagai bekal di akherat.

Keluarganya menagisi kepergiannya. Rakyat Indonesia berkabung. Sebagian rakyat memasang bendera setengah tiang tanda berkabung. Tidak sedikit yang menangis, mengenang segala kebaikannya, kemurahannya. Terutanya para pejabat dan pengusaha yang menjadi kroni-kroninya. Yang dengan kebaikan dan kemurahan Suharto mereka mendapatkan kemewahan, meskipun dengan menipu rakyat. Namun Suharto tahu bagaimana cara menyenangkan rakyat. Rakyat ingat bahwa pada masa pemerintahannya, segala harga kebutuhan pokok murah dan mudah mendapatkannya. Tidak seperti sekarang ini, harga kebutuhan pokok rakyat melambung dan susah didapat.

Namun, tidak sedikit yang bersorak gembira, malamnya berpesta dengan tutup usianya beliau. Mereka yang semasa orde baru tidak setuju dengan kebijakan Suharto, mendapat tekanan, siksaan dan ”penghilangan” atas keluarganya. Banyak peristiwa yang atas nama kestabilan politik, keamanan nasional dan juga keamanan kekuasaan serta kekayaan pribadi, membiarkan pelanggaran HAM terjadi. Kita ingat peristiwa Lampung, Tanjung Priuk, Malari, demonstrasi mahasiswa yang berakhir dengan pemberangusan. Mereka dibantai seperti membunuh binatang, penculikan dan penghilangan aktivis, menjadi senjata untuk mempertahankan kekuasaanya.

Beliau punya kelebihan, demikian juga punya kekurangan. Disamping jasa-jasanya yang besar dalam memakmurkan rakyat, juga tidak sedikit kesalahan yang beliau lakukan. Begitulah manusia tidak ada yang sempurna.

Selamat jalan bapak Mantan Presiden……
Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosanya, mengampuni kesalahannya dan semua amal baiknya diterima dan mendapat balasan yang setimpal….


masepe
Semarang, 28 Januari 2008

Jumat, 25 Januari 2008

Setelah Harga Kedelai Melambung, Kemudian Apalagi?

Memang tragis nasip orang kecil. Kata Tukul “wong cilik”. Bukan orang berbadan kecil. Namun orang yang tidak punya apa-apa. Yang hidupnya serba pas-pasan, kekurangan, berada dibatas garis kemiskinan bahkan di bawah garis kemiskinan. Mengapa tidak tragis? Lha makanan yang kata orang, makanan kelas bawah, bahkan ada yang bilang kelas tempe, bahan dasarnya harganya melambung di awan. Para produsen tempe dan tahu teriak bakal bangkrut karena harga jual tidak menutupi harga produksi. Kalau harga dinaikkan, gantian para penikmat tahu dan tempe yang teriak gak bisa beli. Kalaupun ada produsen tahu dan tempe yang kreatif, dengan mengurangi ukuran tahu dan tempe yang diproduksi, agar roda usaha tetap berjalan (mesti merangkak), itupun masih diprotes oleh konsumen.

Ada ibu-ibu belanja protes sama pedagang, kemarin beli tempe dengan harga yang sama masih dapat ukuran yang lumayan besar, namun pagi itu akurannya jauh lebih kecil. Bahkan ada produsen yang kreatif dengan mencampur dengan kulit kedelai atau bahkan ampas tahu.

Maka baru kali ini, kita lihat di berita Televisi ada demonstrasi para pengusaha tahu dan tempe. Mereka mendemo di Gedung Dewan yang terhormat dan juga di Istana Negara. Memprotes pejabat atau wong gede yang tidak memikirkan nasip wong cilik. Bagi mereka tahu dan tempe itu jenis makanan apa, gak doyan....

Bagaimana bisa negara agraris dengan tanah yang luas bisa sampai kekurangan kedelai, sehingga harus impor dari negri tetangga. Apa gak malu, hi..hi... Saya ingat dengan komentar salah seorang pejabat negara kita, seorang Ketua MPR yang sangat sederhana bilang, ”jangan sampai masyarakat tempe mengimpor tempe....”. lha opo tumon.

Masalah tempe dan tahu ini hanya satu kasus yang menimpa wong cilik, sebelumnya lebih heboh lagi. Negara agraris dengan tanah yang luas dan subur, mengimpor beras, CPO, gula serta terigu. Akhirnya harga di pasar melambung. Yang jadi korban siapa lagi kalo bukan ”wong cilik”. Sedangkan para orang berpunya, ”orang gede” tidak terpengaruh dengan huru hara kenaikan harga sembako. Mereka bisa makan enak sampai kenyang bahkan rakus di rumah makan dan restoran mewah kesukaan mereka.

Setelah harga kedelai melambung, kemudian apalagi.......?


masepe
Semarang, 25 Januari 2008.

Kamis, 24 Januari 2008

Baru Bisa Posting

Setelah sekian detik, sekian menit, sekian jam, sekian hari, sekian minggu dan sekian bulan dan alhamdulillah belum sampai sekian tahun sejak Juni 2007, akhirnya bisa deh posting di blog-ku. Tentunya dengan bantuan seorang temen yang tidak kenal, karena hanya kenal lewat postingan juga, di DSH.

Terima kasih teman...... semoga Allah SWT membalas dengan pahala yang sepadan dengan kebaikan yang engkau berikan padaku...

Jadinya aku makin tambah semangat menulis. Meskipun juga masih belajar. Belajar, belajar, belajar dan menulis, menulis dan menulis... Terus, terus dan terus....

Kehilangan Lagi Orang Tercinta

Innalillahi wa innailaihi raji’un. Tanggal 24 bulan Januari tahun 2008, pak dhe saya Makimin, yang tinggal di Tanjung Karang, telah dipanggil kembali oleh Allah SWT. Pak dhe sembilang bersaudara, anak kedua. Sedang ibuku anak kelima. Pak dhe punya empat anak. Pertama mas Supri, mbak Warmi, mbak Lastri dan mbak Fatimah. Anak pertamanya tinggal di Bandung bersama dengan istri dan anak-anaknya. Sedang anak yang lain tinggal di Tanjung Karang, semua sudah berkeluarga.

Ketika sedang di kantor, dikabari istri lewat HP saya. Ketika kabar itu kuterima, seakan dalam mimpi, tidak percaya dengan apa yang kudengar. Mata terasa pedih, lemes. Langsung saja, saya langsung cari tahu kebenaran beritanya, kepada mas Pur, di Wonogiri. Kata mas Pur, pak dhe meninggal kurang lebih jam 11 siang. Pak dhe pulang dari sawah, lepas baju, kemudian membetulkan lampu dirumah dengan naik tangga. Pak dhe lupa mematikan sekering, kabel lepas dan mengenai dadanya, kesetrum dan jatuh… Memang Allah berhak mengambil hambanya kapan saja dan dengan cara apa saja…. Ibuku menangis. Keluarga Wonogiri menangis. Aku tidak bisa menangis…. Terbayang terus wajah pak dhe.

Sudah lama aku tidak berjumpa dengannya. Padahal sering dalam hati ini, ingin sekali berkunjung ke rumahnya yang di Tanjung Karang. Tapi itu hanya tinggal keinginan saja, sampai pak dhe dipanggil kembali oleh Allah SWT, keinginan itu belum kesampaian.

Aku ingat terakhir kali, kita sekeluarga besar bertemu, itu dua tahun yang lalu, dan bulan Januari juga serta dalam keadaan yang sedang berduka. Saat itu Lek Setu, juga dipanggil oleh Allah SWT, setelah sekian lama menderita sakit. Pedih saat itu. Dan sekarang kembali kami sekeluarga pedih. Kembali orang-orang tercinta diambil oleh yang kuasa. Kami ikhlas ya Allah……

Masih jelas dalam ingantanku, pak dhe Min hijrah ke Tanjung Karang bersama dengan ketiga anaknya. Saat itu saya masih kelas 5 atau 6 SD. Keluarga pak dhe Min diguncang prahara. Istrinya minta cerai, tergoda dengan lelaki lain, lelaki hidung belang…. Padahal sudah dikaruniai 4 orang anak. Padahal hidupnya sudah mapan. Hancurlah harapan pak dhe. Hancurlah harapan anak-anaknya. Tahun-tahun itu merupakan keributan besar dalam biduk rumah tangga pak dhe. Sudah berbagai cara dilakukan untuk menyadarkan istri pak dhe. Pak dhe bersedia menerima apapun keadaan istri, bagaimanapun kotor, keji dan hina keadaan istri, hanya demi keutuhan keluarga, demi masa depan anak-anak yang masih kecil. Tapi rupanya iblis telah menguasai hati istrinya. Hatinya telah menjadi batu. Pak dhe difitnah oleh istri, dan juga keluarga istri yang tidak tahu persoalan. Jadi buronan polisi. Sembunyi dari rumah saudara ke rumah saudara yang lain. Anak ketiganya sebaya denganku. Sedang anak keempatnya masih lima tahunan. Kasihan sekali mereka saat itu. Aku ingat saat itu pak dhe seperti orang gila, stres berat

Sampai akhirnya, pak dhe Min mendapat ide/saran untuk hijrah. Tujuannya adalah ke Lampung. Sendiri pak dhe kesana, tanpa tempat tujuan yang mesti dituju. Benar-benar hidayah dari Allah SWT, pak dhe Min menuju Masjid. Padahal pak dhe Min sebelumnya adalah orang lugu dan jauh dari agama. Di masjid pak dhe bertemu dengan seorang ustad, ditolong, di beri tempat tinggal sementara. Aktif ikut pengajian. Dan akhirnya mendapatkan cahaya Islam. Kehidupannya berubah 180 derajat.

Setelah beberapa bulan, pak dhe mampu membeli rumah, yang tentu sangat sederhana, namun layak untuk tempat tinggal. Pak dhe Min pulang ke Wonogiri, bermaksud silaturahmi dan menjemput anak-anaknya. Kami sekeluarga menangis, dalam pertemuan itu. Bahagia. Pak dhe telah menemukan kahidupan yang sebenarnya.

Sekembalinya, anak-anak dibawa, yang pertama mbak lastri dan Fatimah. Di Tanjung Karang, Fatimah dimasukan pesantren hafalan Al-Quran. Pak dhe makin intensif dalam pengajian. Sampai akhirnya pak dhe dipercaya oleh masyarakat sebagai ustad. Kemudian menyusul mbak Warmi bersama suaminya, menetap di Lampung.

Kehidupannya terus berkembang. Dengan seijin anak-anaknya, pak dhe menikah lagi, dengan janda tanpa anak. Pak dhe kelihatan tambah sangat bahagia. Setelah lulus dari pesantren, Fatimah diambil menantu oleh Kiai pemilik pesantren. Pak dhe sangat bangga dengan fatimah. Dia memang beda dengan anak-anak pakdhe yang lain.

Dan kini, engkau pak dhe telah kembali kepada Zat pemilik alam semesta dan seisinya, yang hidup maupun yang mati. Kami ikhlas. Ya..... Allah ampunilah dosa-dosanya, ampunilah kesalahannya, terimalah amal-amal baiknya, dan karuniakanlah tempat yang baik dan mulia disisiMu ya Allah..... Serta kepada anak-anak dan cucu-cucunya serta kami keluarga besarnya, karuniakanlah kesabaran dan ketabahan.....

Aku selalu ingat kata-katamu pak dhe, kita semua ini camat (calon mati), tidak tahu kapan terjadinya, maka persiapkah amal-amal baik, tekun beribadah. Pak dhe engkau selalu dalam kenanganku, dalam kenangan keluarga besarmu.... Kami keluargamu selalu merindukanmu, semoga di surga kelak kita kan bertemu...... Amiiiin

Semarang, 24 januari 2008.